penentuan awal-akhir bulan Ramadlon
dilakukan dengan dua cara – tidak ada yang ketiga –
dilakukan dengan dua cara – tidak ada yang ketiga –
1. Ru’yatul Hilal
2. Ikmal (menggenapkan) bulan Sya’ban
menjadi 30 hari. Ini dilakukan apabila tidak berhasil melakukan ru’yatul hilal,
baik karena mendung ataupun karena faktor-faktor lainnya.
a Ar-Ru`yah : artinya melihat atau
mengamati dengan menggunakan mata atau penglihatan.
b Al-Hilâl : Bulan sabit yang paling
awal terlihat pada permulaan bulan (asy-syahr).
Kenapa dinamakan Al-Hilâl?
- Al-Hilâl berasal dari kata ( هَلَّ – أَهَلَّ) halla, ahalla artinya : “tampak atau terlihat.” Dinamakan demikian, karena merupakan bentuk Bulan Sabit yang pertama kali tampak pada awal bulan.
- Sebab lain kenapa dinamakan Al-Hilâl adalah, karena orang-orang yang melihatnya berseru ketika memberitakannya. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Al-Hilâl adalah nama untuk sesuatu yang ditampakkan, yakni disuarakan. Penyuaraan itu tidak akan bisa terjadi kecuali jika bisa diketahui oleh penglihatan atau pendengaran.”
Jadi dinamakan dengan Al-Hilâl karena
itu merupakan bentuk Bulan yang paling awal tampak dan terlihat, orang yang
melihatnya berseru untuk memberitakan bahwa Al-Hilâl sudah terlihat.
Yang dinamakan dengan Al-Hilâl adalah
khusus untuk bulan sabit pada malam pertama dan kedua saja, ada juga yang
berpendapat hingga malam ketiga, ada pula yang berpendapat hingga malam ke-7.
Adapun selebihnya tidak dinamakan dengan Al-Hilâl.
Dalam bahasa Indonesia, Al-Hilâl
sering disebut Bulan Sabit Termuda. Walaupun dari sisi asal-usul dan sebab
penamaan tidak sama.
1. Ru`yatul Hilâl dalam pengertian
syara’ adalah : Melihat Al-Hilâl dengan mata atau penglihatan, pada saat
terbenamnya Matahari pada petang hari ke-29 akhir bulan, oleh saksi yang
dipercaya beritanya dan diterima kesaksiannya. Sehingga dengan itu diketahui
bulan (asy-syahr) baru telah masuk.
Jadi, dalam ketentuan Syari’at Islam,
masuknya bulan baru tidak semata-mata ditandai dengan wujûd (keberadaan)
Al-Hilâl di atas ufuk, yaitu kondisi ketika Matahari tenggelam lebih dahulu
daripada Bulan setelah peristiwa ijtimâ’ (ijtimak/kunjungsi) ). Tapi masuknya
bulan baru dalam ketentuan Syari’at Islam ditandai dengan terlihatnya Al-Hilâl.
Meskipun secara perhitungan Al-Hilâl sudah wujud namun pada kenyataannya tidak
terlihat, maka berarti belum masuk bulan baru.
Dalil-dalil Ru’yatul Hilal
a. Dari shahabat Ibnu ‘Umar
radhiyallahu anhu :
أن رسول الله – – ذكر رمضان فقال
: « لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له »
Bahwa Rasulullah menyebutkan bulan
Ramadhan, maka beliau berkata : “Janganlah kalian bershaum hingga kalian
melihat al-hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri hingga kalian melihatnya.
Jika kalian terhalangi (oleh mendung, debu, atau yang lainnya) maka
tentukan/perkirakanlah untuknya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh :
Al-Bukhari 1906; Muslim 1080; An-Nasâ’i no. 2121; Demikian juga Mâlik dalam
Al-Muwaththa` no. 557; Ahmad (II/63)
« الشهر
تسع وعشرون، فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا
العدة ثلاثين
»
“Satu bulan itu dua puluh
sembilan hari. Maka janganlah kalian memulai ibadah shaum sampai kalian melihat
Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri sampai kalian melihatnya. Jika
terhalang atas kalian maka sempurnakanlah bilangan (bulan menjadi) tiga puluh
(hari).”
Diriwayatkan oleh Al-Imâm Al-Bukhâri
1907; Asy-Syâfi’i dalam Musnad-nya no. 435 (I/446). Dalam riwayat lain dengan
lafazh :
« فصوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلالين »
“Bershaumlah kalian berdasarkan
ru`yatul hilâl dan ber’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl. Jika
(Al-Hilâl) terhalangi atas kalian, maka tentukanlah untuk (bulan tersebut
menjadi) tiga puluh.”
Diriwayatkan oleh Al-Imâm Muslim 1080.
Diriwayatkan pula oleh Abû Dâwûd no. 2320 Dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan
lafazh :
« لاَ
تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ »
“Janganlah kalian memulai ibadah
shaum sampai kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri
sampai kalian melihat Al-Hilâl. Jika terhalang atas kalian maka bershaumlah
kalian selama tiga puluh (hari).”
Al-Imâm Al-Baihaqi v meriwayatkan
dalam Sunan-nya (IV/205) no. 7720 melalui jalur Nâfi dari Ibnu ‘Umar bahwa
Rasulullah bersabda
« إن
الله تبارك وتعالى جعل الأهلة مواقيت، فإذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن
غم عليكم فاقدروا له أتموه ثلاثين »
“Sesungguhnya Allah Tabâraka wa
Ta’âlâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu. Maka jika kalian
melihatnya mulailah kalian bershaum, dan jika kalian melihatnya
ber’idulfitrilah kalian. Namun jika terhalang atas kalian, maka perkirakanlah
dengan menggenapkannya menjadi tiga puluh hari.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh
Ibnu Khuzaimah dalam Shahîh-nya (III/201) no. 1906. Demikian juga diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzâq dalam Mushannaf-nya no. 7306 dengan lafazh :
إن الله جعل الأهلة مواقيت للناس،
فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فعدوا له ثلاثين يوما
“Sesungguhnya Allah menjadikan
hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi manusia. Maka mulailah ibadah shaum
kalian berdasarkan ru`yatul hilâl, dan ber’idulfitrilah kalian berdasarkan
ru`yatul hilâl. Jika hilâl terhalangi atas kalian, maka hitunglah (bulan
tersebut) menjadi tiga puluh hari.” Hadits ini dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh
Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni dalam Shahîh Al-Jâmi’ish Shaghîr no. 3093, lihat
pula Tarâju’ât Al-’Allâmah Al-Albâni fit Tash-hih no. 49. b. dari shahabat Abû
Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :
« إذا
رأيتم الهلال فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوماً »
“Jika kalian telah melihat
Al-Hilâl maka bershaumlah kalian, dan jika kalian telah melihat Al-Hilâl maka
ber’idul fitrilah kalian. Namun jika (Al-Hilâl) terhalang atas kalian, maka
bershaumlah kalian selama 30 hari.”
Diriwayatkan oleh Muslim v 1081
An-Nasâ`i no. 2119; Ibnu Mâjah no. 1655; dan Ahmad (II/263, 281). Dalam riwayat
lain dengan lafazh :
« صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم الشهر فعدوا ثلاثين »
“Bershaumlah kalian berdasarkan
ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl.
Apabila asy-syahr (al-hilâl) terhalangi atas kalian maka hitunglah menjadi tiga
puluh hari.”
Dalam riwayat Al-Bukhâri dengan
lafazh :
« صوموا
لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين » .
“Bershaumlah kalian berdasarkan
ru`yatul hilâl, dan beri’idulfitrilah kalian berdasarkan ru`yatul hilâl.
Apabila (al-hilâl) terhalangi atas kalian maka sempunakanlah bilangan bulan
Sya’bân menjadi tiga puluh hari.”
c. dari shahabat ‘Abdullâh bin ‘Abbâs
c bahwa Rasulullah bersabda :
« لاَ
تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Janganlah kalian melaksanakan
shaum hingga kalian melihat Al-Hilâl, dan janganlah kalian ber’idul fitri
hingga kalian melihatnya. Jika (al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka
sempurnakanlah bilangan bulan menjadi 30 hari.”
Diriwayatkan oleh : Al-Imâm Mâlik
dalam Muwaththa` no. 559.
عَجِبْتُ مِمَّنْ يَتَقَدَّمُ الشَّهْرَ،
وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللهِ : « إِذَا
رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ »
“Saya heran dengan orang yang
mendahului bulan (Ramadhan), padahal Rasulullah telah bersabda : “Jika kalian
telah melihat al-Hilâl maka bershaumlah, dan jika kalian melihatnya maka
ber’idul fitrilah. Kalau (al-hilâl) terhalangi atas kalian, maka sempurnakanlah
bilangan bulan menjadi 30 hari.”
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (2125)
Ahmad (I/221) dan Ad-Dârimi (1739). Lihat Al-Irwâ` no. 902. d. Al-Imâm Abû
Dâwûd meriwayatkan dengan sanadnya (no. 2325) dari shahabat ‘Âisyah x berkata :
« كَانَ
رَسُولُ اللهِ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ،
ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ ، عَدَّ ثَلاَثِينَ يَوْمًا
، ثُمَّ صَامَ
»
“Dulu Rasulullah senantiasa
berupaya serius menghitung (hari sejak) hilâl bulan Sya’bân, tidak sebagaimana
yang beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya. Kemudian beliau bershaum
berdasarkan ru’yah (hilâl) Ramadhan. Namun apabila (al-hilâl) terhalangi atas beliau,
maka beliau menghitung (Sya’bân menjadi) 30 hari, kemudian (esok harinya)
barulah beliau bershaum.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh
Al-Imâm Ahmad (VI/149), Ibnu Khuzaimah (1910), Ibnu Hibbân (3444), Al-Hâkim
(I/423) Al-Baihaqi (IV/406). Ad-Dâraquthni menyatakan bahwa sanad hadits ini
hasan shahih. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abî
Dâwûd no. 2325.
Dari seluruh hadits di atas, dapat
diambil kesimpulan :
بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ
الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ
أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Bab : Tentang kewajiban melaksanakan
shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga
berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau
akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari. Al-Imâm Ad-Dârimi
dalam Sunan –nya memberikan bab :
بَاب الصَّوْمِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ
Bab : Ash-Shaum berdasarkan ru`yatul
hilâl
Rasulullah melarang untuk
memulai ibadah shaum Ramadhan atau merayakan ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha sebelum
al-hilâl benar-benar terlihat oleh mata. Al-Imâm Ibnu Hibbân menyebutkan bab
dalam Shahîh-nya :
ذكر الزجر عن أن يصام من رمضان إلا
بعد رؤية الهلال له
“Penyebutan dalil tentang
larangan untuk bershaum Ramadhan kecuali setelah al-hilâl terlihat.”
3. Apabila pada malam ke-30 al-hilâl
tidak bisa dilihat, baik karena mendung, debu, atau yan lainnya, maka wajib
menempuh cara istikmâl, yaitu menggenapkan bulan tersebut menjadi 30 hari.
Al-Imâm An-Nawawi telah menyebutkan bab :
بَاب وُجُوبِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِرُؤْيَةِ
الْهِلاَلِ وَالْفِطْرِ لِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ وَأَنَّهُ إِذَا غُمَّ فِي أَوَّلِهِ
أَوْ آخِرِهِ أُكْمِلَتْ عِدَّةُ الشَّهْرِ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Bab : Tentang kewajiban melaksanakan
shaum Ramadhan berdasarkan ru`yatul hilâl dan melaksanakan ‘Idul Fitri juga
berdasarkan ru`yatul hilâl. Apabila al-hilâl terhalangi pada awal (bulan) atau
akhir (bulan) maka hitungan bulan digenapkan menjadi 30 hari.
4. Dalam satu bulan itu bisa jadi 29
hari, bisa jadi 30 hari.
5. Dalam penentuan masuk dan keluar
bulan-bulan qamariyah, kaum muslimin tidak membutuhkan tulisan dan ilmu hisab.
Karena untuk menentukannya, umat Islam cukup dengan cara ru`yatul hilâl atau
istikmâl.
6. Landasan syar’i dalam penentuan
Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha adalah dengan ru`yatul hilal atau
istikmâl.
7. Hikmah dan fungsi keberadaan
Al-Hilâl, adalah sebagai tanda-tanda waktu bagi umat manusia. Terlihatnya
al-hilâl sebagai tanda dimulai dam diakhiri pelaksanaan shaum Ramadhan. Al-Imâm
Ibnu Khuzaimah telah meletakkan bab :
باب ذكر البيان أن الله جل وعلا جعل
الأهلة مواقيت للناس لصومهم وفطرهم إذ قد أمر الله على لسان نبيه عليه السلام بصوم
شهر رمضان لرؤيته والفطر لرؤيته ما لم يغم قال الله عز وجل { يسألونك عن الأهلة قل
هي مواقيت للناس } الآية
Bab : Penjelasan bahwasanya Allah
Jalla wa ‘alâ menjadikan hilâl-hilâl sebagai tanda-tanda waktu bagi umat
manusia dalam memulai ibadah shaum mereka atau ‘idul fitri mereka. Karena Allah
telah memerintahkan melalui lisan Nabi-Nya untuk memulai shaum bulan Ramadhan
berdasarkan ru`yatul hilâl dan ber’idul fitri juga berdasarkan ru`yatul hilâl
jika memang al-hilâl tidak terhalangi. Allah berfirman : “Mereka bertanya
kepadamu tentang hilâl-hilâl. Katakanlah: “itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia.”
8. Rasulullah tidak pernah
mengajarkan untuk menjadikan ilmu hisab sebagai dasar penentuan Ramadhan, ‘Idul
Ftri, dan ‘Idul Adha.
9. Kesalahan sebagian orang dalam
menafsirkan sabda Nabi فاقدروا له (Perkirakanlah)
bahwa yang dimaksud adalah menggunakan ilmu hisab. Karena makna lafazh tersebut
telah ditafsirkan oleh Nabi sendiri, yaitu maknanya adalah menggenapkan
bilangan bulan menjadi 30 hari. Tentunya yang paling mengerti tentang makna dan
maksud sabda Nabi adalah beliau sendiri. Sebaik-baik tafsir tentang makna dan
maksud suatu hadits adalah hadits yang lainnya. Al-Imâm Ibnu Khuzaimah :
باب ذكر الدليل على أن الأمر بالتقدير
للشهر إذا غم أن يعد شعبان ثلاثين يوما ثم يصام
Bab : Penyebutan dalil bahwa perintah
untuk memperkirakan bilangan bulan apabila al-hilâl terhalangi (tidak terlihat)
maksudnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan Sya’bân menjadi 30 hari,
kemudian (esok harinya) bershaum. Al-Imâm Ibnu Hibbân :
باب ذكر البيان بأن قوله : ( فاقدروا
له ) أراد به أعداد الثلاثين
Bab : “Penyebutan dalil bahwa makna
sabda Nabi (فاقدروا له ) (perkirakanlah) adalah dengan menggenapkan menjadi 30 hari.
10. Nabi melarang untuk mendahului
bershaum sebelum masuk bulan Ramadhan, baik sehari atau dua hari sebelumnya.
Nabi juga melarang bershaum pada hari ke-30 Sya’bân yang pada malam harinya
al-hilâl tidak terlihat. 11. Nabi mengajarkan kepada kaum muslimin untuk
memperhatikan dan menghitung secara serius hari-hari bulan Sya’bân dalam rangka
mempersiapkan diri melakukan ru`yatul hilâl Ramadhan.
Al-Imâm Ibnu Hibbân meletakan sebuah
bab :
ذكر البيان بأن المرء عليه إحصاء شعبان
ثلاثين يوما ثم الصوم لرمضان بعده
Bab : “Penyebutan dalil bahwa wajib
atas setiap muslim untuk menghitung hari-hari bulan Sya’bân sampai 30 hari,
kemudian melaksanakan shaum Ramadhan keesokan harinya.”
0 comments:
Post a Comment